keset sabut kelapa tradisional
Setelah seseruputan kopi, Cak Kum menyalakan korek api. Dibakarnya kretek di jepitan jemarinya. Suara kemeratak segera terdengar saat api menjilat ujung kreteknya. Cak Kum menghisap kreteknya dalam-dalam kemudian menghembuskan asapnya perlahan. Desisan lirih nan berat keluar dari mulutnya seiring kepulan asap tipis yang kemudian menghilang di udara.  Wajahnya menampakkan kerisauan. Lik Mad yang duduk di sebelahnya hanya diam, menunggu.

"Mbok ya dulurmu sing paling ganteng ini dibantu to, Lik."

"Dibantu apa to, Cak? Emange saya iki wong iyes, kok dimintai bantuan. Lha wong saya karo sampean ini kan sama saja. Ngopi ya sama-sama di warung Yu Roh ini, bukan di cafe. Rokok juga sama, sering ngecer, kasbon pula. Gak beda blas."

"Kalau sampean ada kerjaan, mbok ya aku ini diseret juga gitu lho."

"Diseret pakai apa, truk atau motor?"

"Telek tenan sampean ini, Lik!" Cak Kum bersungut-sungut.

"Lhah, kalau teleknya segede aku, terus lubang saluran pembuangannya seberapa hayo?" sahut Lik Mad sambil terbahak.

"Wis, gak guyon ae. Serius ini, Lik. Aku butuh kerja."

“Bukannya sampean ini orang paling sibuk se-kecamatan? Kalau diajak kemana-mana kudu lihat buku jadwal kegiatan. Lha kok sekarang minta kerjaan. Aneh ini, aneh!”

“Usahaku mangkrak, gak bergerak. Aku matikan saja sekalian.”

“Usaha yang mana, ternak ayam menangis?”

“Wis wassalam itu. Sudah gak laku, tiap hari suaranya malah bikin sedih seisi rumah. Terpaksa aku sembelih semua. Kandangnya aku pakai buat kayu bakar.”

“Terus, yang jual beli celana dalam bekas itu, wassalam juga?”

“Buyar, Lik. Untungnya sak uprit. Tiwas capek. Dipakai buat pijat saja tekor kok.” Dengus cak Kum sambil menyemburkan asap kreteknya kuat-kuat.

"Memang sampean mau kerja macam apa?"

"Apa sajalah, yang penting bayarannya gede. Sudah bosan aku jadi keset di kampung sendiri."

"Apa jeleknya jadi keset?"

"Hoalah, Lik Maaaaad, Lik Mad! Sampean ini katanya sarjana kok ya pekoknya gak ketulungan. Sudah jelas bin cetha kalau keset itu letaknya di lantai, selalu diinjak-injak, tempatnya kotoran, gedibal! Apa bagusnya, coba?" cerocos cak Kum sambil memainkan tangan layaknya penyanyi rap.

"Orang kalau materialistis cekak ya gini ini. Semua dilihat dari yang kasat mata saja, tidak pernah mencoba melihat apa-apa yang tersirat."

Lik Mad mengambil sebatang kretek dan menyalakannya. "Yu Roh, yang ini ngutang dulu ya, hari ini aku bayar kopinya saja."

Cak Kum cuma kethap-kethip, menanti penjelasan.

"Dari segi manfaat, kedudukan keset itu jauh lebih tinggi daripada perhiasan."

"Wakakakak. Dasar sarjana koplak! Perhiasan sudah pasti lebih mahal, lebih indah, juga dijadikan perlambang kemakmuran, kok bisa-bisanya sampean anggap lebih rendah dari keset, logikane piye jal?"

"Keset yang membersihkan kotoran di kaki dan menjaga ruangan tetap bersih dari gedibal itu lebih dibutuhkan daripada perhiasan yang tak memiliki manfaat apapun selain membuat orang yang memakainya jadi semakin sombong."

"Hmmm... Iyo ya. Ada benernya juga omongan sampean."

"Memang bener kok!" tukas Lik Mad cepat.

Cak Kum meminum habis kopinya tanpa sisa.

"Eh, tapi perhiasan jika dijual kan bisa dapat banyak keset, sekalian sama pabriknya malah, kalau perhiasannya gede. Jadi, tetap lebih unggul perhiasan to?"

"Mbuh, Cak, sak karep sampean lah. Aku pulang, waktunya kasih makan bebek," jawab Lik Mad sambil membayar kopinya.

Cak Kum tersenyum konyol, mempertontonkan geliginya yang kehitaman dipenuhi ampas kopi.

Comments