curly hair silhoutte vector
Namanya Imam Syafi'ie, biasa dipanggil Pi'i. Mungkin bapaknya berharap dia akan se-alim dan sepandai imam madzhab yang memiliki pengikut paling banyak di Nusantara. Tubuhnya mungil. Jika diambil garis horisontal saat kami berdiri sejajar, ujung rambut ikalnya yang membumbung tinggi hanya sedikit di bawah daun telinga saya. Kulitnya sawo matang. Sedikit terlalu matang malah.

Pi'i adalah salah satu karib saya semasa sekolah Tsanawiyah di Paculgowang, sebuah dusun di selatan Jombang, kurang lebih 3 km arah timur laut Tebuireng. Di dusun ini terdapat dua yayasan pondok pesantren, yakni PP. Tarbiyatunnasyi'in (pondok Kulon) dan dan PP. Al-Anwar (pondok Wetan) yang santrinya berasal dari berbagai penjuru negeri.

Meski tak sebangku, saya dan Pi'i kerap bermain bersama baik di sekolah maupun di luar sekolah. Saking akrabnya, guyonan kami tidak sebatas verbal saja, yang bersifat fisik pun sangat lumrah kami lakukan. Sentil telinga, jotos lengan, jegal kaki, atau keplak-keplakan (memukul bagian belakang kepala dengan menggunakan telapak tangan), semua kami lakukan dengan penuh keikhlasan.

Di antara banyak ekspresi keakraban kami, ada satu hal yang menjadi favorit saya sepanjang masa, yakni menjambak rambut kriwulnya yang mokong, tak mau lurus meski habis keramas sekalipun. Sensasinya menyaingi naiknya adrenalin pas lomba tarik tambang. Beneran! Kalau gak percaya, ya sudah. Saya gak maksa.

Rambut Pi'i mungkin tidak masuk dalam kategori keriting mutlak macam rambut rocker gaek Achmad Albar yang iconic itu, tapi rambut ikal Pi'i sungguh istimewa. Warnanya yang hitam legam plus bebas kutu dan ketombe hasil keramas rutin menggunakan ramuan shampoo berbahan Merang dan Klerek warisan nenek moyang yang diracik oleh tangannya sendiri. (Saya curiga, jangan-jangan warna kulit Sawo bosok, eh, Sawo-terlalu-matangnya adalah akibat kelunturan shampoo hand made-nya itu. Hehehe).

Namun karena tidak pernah mengenal yang namanya kondisyoner, tekstur rambut Pi'i pun cenderung menjadi kaku dan kesat. Teman-teman sekelas sering menjailinya dengan menyisipkan potongan kertas, sisa rautan pensil, hingga bolpen ke dalam gulungan rambutnya. Ajaibnya, benda-benda tersebut dapat nangkring di rambut Pi'i dengan aman sentosa.

Hari itu Pi'i tidak masuk sekolah. Tanpa surat, tanpa kabar berita. Sepulang sekolah saya pergi ke kamar kontrakannya untuk melihat kalau-kalau dia sakit. Sepi. Pintunya terkunci.

Di Paculgowang, anak-anak lelaki usia sekolah -baik anak kampung maupun santri pondok- sudah berkumpul di serambi masjid untuk sekedar guyon, ngrasani cewek inceran, bermain tebak ABCD, atau dolanan lainnya sebelum adzan Maghrib dikumandangkan. Kok gak ada yang ngaji Qur'an atau nderes kitab? Tentu ada, tapi tidak di serambi. Mereka ada di dalam area utama masjid. Serambi masjid adalah daerah kekuasaan kami, kaum muda kampung progresif yang gemar bersosialisasi. Halah!

Saat sedang asyik jagongan di serambi masjid dengan kawan sepermainan lainnya, saya melihat sosok yang siang tadi saya cari sedang ngobrol dengan beberapa santri pondok Kulon. Dia duduk santai di tangga masjid membelakangi kami. Rambut keriting yang ditutup secara asal-asalan dengan kopiah yang  warna hitamnya mulai pudar, begitu mudah dikenali.

Bergegas saya menghampirinya. Tanpa uluk salam, saya langsung memasukkan jemari tangan ke sela-sela rambut kriwulnya. Saat genggaman sudah penuh, segera saya tarik hingga mukanya mendongak.

"Digoleki nang endi-endi kok ora ketemu, minggat nang endi ae awakmu?", hardik saya saat menjambak rambutnya.

Kaget, tentu saja. Itu tampak jelas di wajahnya. Tapi yang lebih kaget lagi saya. Wajah yang saya paksa mendongak ke atas itu ternyata bukan wajah polos-tapi-nggapleki milik Pi'i seperti yang saya harapkan melainkan wajah garang si Mat, anak asal Semarang yang dipondokkan oleh bapaknya gegara sering terlibat tawuran.

Sesaat saya terdiam. Ketegengen kalau orang Paculgowang bilang. Begitu tersadar, buru-buru saya meminta maaf. Sebelum awkward moment itu berlangsung lebih lama, ndilalah adzan Maghrib berkumandang. Alhamdulillah...

Sejak itu setiap kali bertemu dengan si Mat saya jadi merasa kikuk sendiri. Untungnya tidak pernah tampak raut kemarahan di wajahnya kepada saya. Bisa jadi dia sudah lupa.

Satu hal yang membuat saya terjerumus dalam insiden memalukan tersebut adalah nihilnya upaya check and recheck yang saya lakukan. Hanya berbekal ingatan tentang ciri fisik Pi'i, langsung saya eksekusi operasi penjambakan rambutnya tanpa memastikan terlebih dahulu apa betul itu dia.

Kelakuan sembrono saya sewaktu Tsanawiyah itu mungkin mirip dengan sebagian pengguna media sosial kita. Setiap berita yang diterima melalui medsos ditelan bulat-bulat tanpa dikunyah lebih dulu. Begitu tahu bahwa berita tersebut hanya hoax belaka, mereka bingung cara memuntahkannya kembali. Ujung-ujungnya sikap denial lah yang mengemuka. Kalimat-kalimat seperti "Wah, saya gak tahu, je. Saya cuma copas dari grup sebelah", atau "Jangan dilihat hoax-nya tapi kita ambil saja hikmahnya." cukup sering jadi andalan mereka, para korban sekaligus penyebar hoax itu.

Gagap teknologi, minimnya literasi, dan judul berita clickbait adalah pasangan threesome sempurna yang melahirkan begitu banyak kader hoax militan. Militansi mereka semakin menjadi saat hoax itu bersinggungan dengan preferensi politik yang mereka miliki. Itulah sebabnya penyebaran hoax terlihat lebih massive pada saat mendekati event pesta demokrasi.

Ah, kok jadi serius begini sih? Wis lah...

*********
Untuk pembahasan dan contoh hoax yang beredar di media sosial kita silakan berkunjung ke turnbackhoax.id

Comments