Ngangsu Air Hujan

bak air hujan
Tidak! Tidak sekeruh itu kondisi sebenarnya air di tempat tinggal kami. Air sumur di rumah cukup bening dan segar untuk mandi dan dikonsumsi, meski sedikit mengandung kapur sih--yang baru tampak setelah dimasak.

Gara-gara pompa air rusak karena terendam air sumur yang tiba-tiba naik di musim penghujan ini, saya terpaksa ngangsu air hujan yang jatuh dari talang air di selatan rumah. Air yang sedikit keruh itu didapat dari air hujan yang saya tampung untuk mengisi bak mandi. 

Butuh sejam lebih dan 77 x 2 ember untuk memenuhi bak mandi yang berukuran 2,5 x 1 x 1,5 meter.  Dan ya, cukup melelahkan memang.

Dulu, perbukitan di selatan desa kami ditumbuhi cukup banyak pepohonan. Meski bukan berupa hutan belantara, tapi orang kampung kami masih menyebutnya Alas, yang berarti hutan. Gerumbul pohon bambu masih lebat. Pohon Beringin, Jati, Mangga (dengan berbagai jenisnya), Randu, dan Trembesi dalam ukuran besar begitu banyak bertebaran.

Di beberapa tempat masih dapat dijumpai beberapa jenis pohon buah-buahan yang sekarang sudah semakin langka di sini. Beberapa di antaranya sudah tidak ada sama sekali. Sebut saja pohon buah Asem, Juwet, Kinco, Kenetu, Kedondong, bahkan pohon buah Mojo. Benar, buah Mojo yang menjadi cikal bakal nama kerajaan besar yang mampu menyatukan seluruh wilayah Nusantara, yakni Kerajaan Majapahit. Bedanya, di tempat kami tidak ada buah Mojo yang rasanya pahit, tapi yang ada adalah buah Mojo legi kecut (manis sedikit asam).

Hewan liar pun masih kerasan tinggal di Alas desa kami. Berbagai jenis ular, mulai Weling hingga Entong (Kobra); bermacam burung, mulai Cendet sampai Derkuku (Perkutut) Putih; Nyambik (Biawak), Garangan (Musang), dan Ayam Hutan juga masih sering tampak terbang melintasi jalan aspal yang membelah perbukitan.

Rimbunnya pepohonan di alas kami membuat cadangan air tanah tetap terjaga, lestari. Saat saya masih duduk di kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah, sumur galian di belakang rumah hanya sedalam 6 meter saja. Saya masih ingat betul tangan kecil saya cukup kuat mengerek timba berulang kali untuk memenuhi air bak mandi yang terbuat dari gentong tanah liat seukuran satu setengah pelukan orang dewasa.

Lahan pertanian di wilayah kami adalah lahan tadah hujan. Tidak ada sungai yang mengalir mengairi ladang dan persawahan sepanjang tahun. Sumur bor adalah kemewahan yang tak mungkin dapat dipenuhi para petani kala itu.

Rendahnya harga hasil panen padi dan palawija yang menjadi produk utama pertanian desa kami membuat sebagian besar petani beralih ke budi daya tebu yang dianggap lebih menguntungkan. Sebuah keputusan yang memaksa para petani untuk memperluas lahan. Jelas, pohon-pohon rimbun tak berdosa itulah yang dikorbankan.

Hal ini kemudian diperparah dengan keluarnya izin penambangan Galian C yang membuat pemilik lahan merelakan tanah miliknya dikeruk dan dipindah untuk ditukar rupiah. Bukit-bukit pun dipangkas. Dump truk hilir mudik menguras tanah Paras. Suhu udara di kampung kami beranjak semakin panas.

Tak berhenti di situ. Kesuksesan perusahaan properti Ciputra Group mengubah lahan kebun berharga murah di Surabaya Barat menjadi komplek perumahan mewah CitraLand membuat pengusaha properti yang lain berlomba melakukan hal yang sama. Areal persawahan beberapa kecamatan di wilayah Gresik Selatan, termasuk sawah-sawah di tempat kami, menjadi sasarannya. Ada yang diubah menjadi perumahan, pergudangan, dan kavling kecil-kecilan. Ada pula yang dibolehkan tetap digarap oleh pemilik sebelumnya hingga dijual kembali saat ada kecocokan harga dengan pembeli, atau malah dibiarkan terbengkalai.

Hilangnya pepohonan dan berubahnya fungsi lahan membuat cadangan air tanah berkurang drastis. Sumur yang semula 6 meter harus digali lagi hingga kedalaman 13 meter agar keluar airnya. 10 tahun kemudian sumur kembali kering sehingga terpaksa harus dilakukan pengeboran sedalam 33 meter.

Entah sampai kapan air di sumur kami akan bertahan. Wallahu a'lam...

Comments