Pulang Ke Paculgowang

Siang tadi harusnya saya masih berada di Ngawi, bercengkerama dengan sahabat-sahabat sesama alumni, atau berada di Jogja, mengantar anak-anak kelas enam bertamasya. Tapi tak satu pun di antara dua kegiatan itu saya pilih karena ibu menghendaki saya untuk ikut pulang ke Paculgowang.

Sudah menjadi kesepakatan di keluarga besar kami, Bani Muhtadi, untuk berkumpul bersama dan nyekar pada hari Minggu terakhir di bulan Ruwah (Sya'ban). Tahun ini hari Minggu terakhir bulan Ruwah jatuh pada tanggal 5 Juni. Tapi karena tanggal itu begitu dekat dengan awal Ramadlan, maka acara Pulang ke Paculgowang pun dipercepat menjadi hari ini, Minggu, dua puluh sembilan Mei dua ribu enam belas.

Paculgowang. Selalu ada rasa damai ketika memasuki kampung kecil di selatan Jombang ini. Mungkin karena suasananya yang asri. Mungkin karena rumpun bambu yang mengelilinginya dan membuatnya senantiasa terlindungi. Mungkin juga imbas do'a para santri yang menuntut ilmu di  dua pesantren yang ada di Paculgowang ini. Atau bisa jadi karena saya terlahir di sini. Entahlah.

Kami sekeluarga tiba di Paculgowang menjelang adzan Dhuhur berkumandang. Usai beramah-tamah dengan keluarga yang bermukim di sini, juga dengan keluarga dari Surabaya, Gresik, Lamongan, dan Sidoarjo  yang telah lebih dulu tiba sebelum kami, ba'da sholat Dhuhur kami segera beranjak pergi ke makam di mana jasad kakek dan nenek saya dikebumikan.

Kedua makam itu terletak di ujung barat pemakaman umum Dusun Paculgowang, berbatasan dengan kebun bambu yang cukup lebat. Rimbun dedaunan bambu melindungi kami dari sengatan panas matahari. Alhamdulillah.

Pemakaman Umum Dusun Paculgowang
Pak Lik (bapak cilik alias paman) Syafik yang kini tinggal di Lamongan memimpin pembacaan Tahlil. Kami semua mengikutinya dengan khidmat. Perlahan terlihat awan mulai bergerak merapat. Kekhusyukan kami sedikit terganggu ketika awan di atas kepala kami mulai tampak menebal dan berwarna kehitaman. Pak Lik Syafik terus membaca Tahlil dalam kecepatan konstan, tidak dipercepat sama sekali, meski titik-titik air hujan mulai membasahi tutup kepala kami. Tahlilan tetap dilakukan hingga selesai.

Hujan deras di makam Paculgowang
Hujan akhirnya mengguyur deras tepat setelah Pak Lik menutup do'a Tahlil. Kami semua sipat kuping mencari tempat berteduh. Sebuah bangunan di komplek pemakaman para masyayikh Paculgowang yang biasa digunakan para santri untuk membaca do'a menjadi tujuan kami. Angin berhembus kencang mempermainkan air hujan, memaksanya membasahi dinding bangunan yang hanya setinggi pinggang.

Duduk berdesakan di atas tikar dan karpet yang ada di tengah ruangan pun kami lakukan demi  menghindari air yang menggenang di sisi ruangan. Sebagian terpaksa berdiri. Sembari menunggu hujan reda, do'a Tahlil kembali kami baca. Kali ini dikhususkan untuk arwah para masyayikh yang pusaranya ada di hadapan kami.

Aneh. Begitu bacaan Tahlil kami tuntaskan, hujan dan angin kencang tadi tiba-tiba menghilang. Awan tebal segera menepi dan sinar matahari kembali menyinari. Ah, mungkin Tuhan menghendaki keluarga besar kami berdo'a secara jama'ah untuk para Kiai dan Bu Nyai yang telah purna tugas berjuang untuk agama-Nya di bumi Paculgowang ini.

baca qur'an
Kembali dari makam, kami berkumpul di rumah peninggalan kakek untuk melaksanakan khataman Al-Qur'an. Masing-masing anggota keluarga yang sudah dewasa mendapat bagian 1 juz. Karena dibaca keroyokan, maka tak sampai 30 menit khataman pun dapat diselesaikan.

Berakhir sudah kebersamaan Bani Muhtadi hari ini. Kami akan berkumpul kembali dalam Halal bi Halal pada tanggal 7 Syawal nanti.

Dan semoga bapak kepala sekolah yang mendampingi langsung anak kelas enam yang berwisata ke Jogja serta tuan rumah acara Triwulan teman-teman alumni di Ngawi memaklumi ketidakhadiran saya ini. Toh acara tetap berjalan tanpa hambatan. Dan tentu mereka adalah orang-orang yang penuh pengertian.

Comments