Slilit Yudhi, Bukan Slilit Sang Kiai

Masihkah sampeyan ingat betapa seringnya kita yang masih kanak-kanak meniru begitu saja (meng-imitasi) apapun yang dilakukan oleh orang dewasa? Enggak!? Ah, mosok seh? Masa kecil saya sih begitu.

Ketika teman-teman om saya datang bertamu, mereka terlihat begitu gagah duduk methingkrang sambil ngobrol santai. Demi kegagahan, saya akan tiru cara duduk yang keren itu besok pagi. Sebuah keputusan yang berakhir dengan sakitnya daun telinga akibat jeweran guru karena saya nekat melakukannya di dalam kelas. Kucluk tenan!

Ketika mendengar orang dewasa menyelipkan pisuhan dalam obrolan mereka, maka saya pun latah melafalkan cak-cuk sebagai akhiran tiap kalimat yang saya ucapkan dengan fasih. Akibat yang ditimbulkannya sungguh mengerikan. Sol sandal ayah mendarat telak di bibir, meninggalkan memar merah yang masih membekas jelas hingga keesokan harinya.

Saat masih berusia 5 tahun, saya pernah begitu penasaran dengan bagaimana rasanya sakit kepala. Ketika itu saya melihat setiap kali ibu mendapatkan serangan sakit kepala, maka beliau akan segera tidur dan berpesan agar tidak ada seorang pun yang boleh mengganggu. Demi mewujudkan keinginan itu, saya bahkan rela berdo'a dengan sungguh-sungguh, "Ya Allah, berilah hamba sakit kepala seperti yang Kau berikan pada ibu hamba. Besok pagi, ya Allah, sehari saja. Amin." Alhamdulillah, Tuhan benar-benar Maha Mengetahui apa yang terbersit dalam hati dan tidak mengabulkan do'a konyol itu. Saya tetap harus masuk sekolah, mengikuti ulangan Matematika, dan mendapatkan nilai merah. Bangsat sekali, Tuhan pun coba aku kelabui.

Pada satu kesempatan, sahabat saya, Cak Yudhi Klowor, bercerita bahwa semasa kecilnya dulu dia cukup sering diajak makan oleh almarhum bapaknya di Depot Melati, sebuah rumah makan yang cukup terkenal di wilayah Krian. Dia perhatikan setiap kali menyelesaikan makanannya, sang Bapak selalu melakukan satu ritual yang tak pernah sekali pun dilewatkan, membersihkan slilit (sisa makanan) yang menempel pada sela-sela gigi beliau.

Tertarik, Yudhi kecil segera mengambil sebuah benda kecil berujung runcing terbuat dari bambu, yang tersedia di atas meja. Kemudian menggunakannya untuk mengorek-korek sela geliginya, tapi tak satu pun sisa makanan dia temukan di ujung tusuk gigi yang dipegangnya. Tak puas, dia pun menyapukan lidahnya, menelusuri setiap pertemuan antar gigi dalam mulutnya. Dari kiri ke kanan kemudian dari kanan ke kiri, berulang-ulang dengan penuh konsentrasi. Berharap akan dia temukan secuil slilit yang telah dicarinya bermenit-menit. Nihil.

Makanan yang dia santap -rawon balungan yang menjadi menu andalan Depot Melati- sama persis dengan yang dimakan oleh bapaknya. Tapi bagaimana bisa slilit hanya sudi mampir di gigi bapaknya, tapi ogah nyangkut di giginya? Yudhi kecil pun menganggap  sliliten adalah satu di antara banyak hal keren yang hanya bisa dialami oleh orang yang sudah dewasa. Untuk itu dia bertekad untuk menjadi dewasa secepatnya. Mungkin lebih cepat dari teman-teman sepermainannya.

Kini, ketika perjalanan hidupnya sudah mendekati usia kenabian Rasulullah, setiap selesai makan (apapun jenisnya, bahkan ketika cuma makan tahu petis) Yudhi Klowor selalu asyik bercengkrama dengan slilit yang sedari kecil begitu didambakannya. Selamat ya, Cak. Semoga sakinah, mawaddah, wa rahmah...

Catatan:
Gambar di atas bukan foto Cak Yudhi Klowor, melainkan Gus Asfi yang sedang membersihkan slilit saat kami bertemu di Jombang tempo hari.

Comments